STEVEN JOHNSON SYNDROME
PENDAHULUAN
Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai kompleks imun yang merupakan bentuk yang berat dari eritema multiformis. SJS dikenal pula sebagai eritema multiformis mayor. SJS umumnya melibatkan kulit dan membran mukosa. Ketika bentuk minor terjadi, keterlibatan yang signifikan dari mulut, hidung, mata, vagina, uretra, saluran pencernaan, dan membran mukosa saluran pernafasan bawah dapat berkembang menjadi suatu penyakit. Keterlibatan saluran pencernaan dan saluran pernafasan dapat berlanjut menjadi nekrosis. SJS merupakan penyakit sistemik serius yang sangat potensial menjadi penyakit yang sangat berat dan bahkan menjadi sebuah kematian.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritema multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis. Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk.
PATOFISIOLOGI
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.
Sekitar 50% penyebab SJS adalah obat. Peringkat tertinggi adalah obat-obat Sulfonamid, , imidazol dan NSAID, sedangkan peringkat menengah adalah quinolon, antikonvulsan aromatic dan alopurinol. Beberapa faktor penyebab timbulnya SJS diantaranya : infeksi ( virus herpes simplex, dan Mycoplasma pneumonia, makan (coklat), dan vaksinasi. Faktor fisik ( udara dingin, sinar mathari, sinar X) rupanya berperan sebagai pencetus ( trigger ). Patogenesis SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV. Oleh karena proses hipersensitivitas , maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi :
1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
2. Stress hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria
3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun
5. Infeksi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.
PROGNOSIS
Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka kematian sekitar 5%. Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN, dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan. Outcome lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian.
Perbedaan Eritema Multiformis, Steven-Johnsons Syndrome, dan Toxic Epidermal Necrolysis
Severity-of-Illness Score for Toxic Epidermal Necrolysis (SCORTEN) | ||
Risk Factor* | Score | |
0 | 1 | |
Age | < 40 yr | ≥ 40 yr |
Associated cancer | No | Yes |
Heart rate (beats/min) | < 120 | ≥ 120 |
Serum BUN (mg/dL) | ≤ 28 | > 28 |
Detached or compromised body surface | < 10% | ≥ 10% |
Serum bicarbonate (mEq/L) | > 20 | ≤ 20 |
Serum glucose (mg/dL) | ≤ 250 | > 250 |
More risk factors indicate a higher score and a higher mortality rate (%) as follows:
· 0–1 = 3.2% (CI: 0.1 to 16.7)
· 2 = 12.1% (CI: 5.4 to 22.5)
· 3 = 35.3% (CI: 19.8 to 53.5)
· 4 = 58.3% (CI: 36.6 to 77.9)
· ≥ 5 = > 90% (CI: 55.5 to 99.8)
CI = confidence interval.
Data from Bastuji-Garin S, Fouchard N, Bertocchi M, et al: SCORTEN: A severity-of-illness score for toxic epidermal necrolysis. Journal of Investigative Dermatology 115:149–153, 2000.
PENYEBAB
- Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons imun terhadap obat.
- Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit),
- obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif),
- makanan (coklat),
- fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X),
- lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).
Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson
Infeksivirus jamur bakteri parasit | Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia koksidioidomikosis, histoplasma streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis, salmonela malaria |
Obat | salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik |
Makanan | Coklat |
Fisik | udara dingin, sinar matahari, sinar X |
Lain-lain | penyakit kolagen, keganasan, kehamilan |
(Dikutip dengan modifikasi dari SL Moschella dan HJ Hurley, 1985)
- Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan sebelum masa awitan setiap gejala klinis yang dicurigai (dapat sampai 21 hari). Bila pemberian obat diteruskan dan geja]a klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal.
- Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat, sulfa, penisilin, antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid.
- Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.
Fisik
- Ruam dapat mulai sebagai makula yang berkembang menjadi papul, vesikel, bula, plak urtikarial, atau eritema konfluen.
- Pusat ini mungkin lesi vesikuler, purpura, atau nekrotik.
- Lesi khas memiliki penampilan target. Target dianggap pathognomonic. Namun, berbeda dengan lesi eritema multiforme khas, lesi ini hanya memiliki dua zona warna. inti mungkin vesikuler, purpura, atau nekrotik, yang zona dikelilingi oleh eritema makula. Beberapa orang menyebut lesi targetoid.
- Lesi dapat menjadi pecah bulosa dan kemudian, meninggalkan kulit gundul. Kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.
- Ekstensif peluruhan
- urtikarial lesi biasanya tidak gatal.
- Infeksi mungkin bertanggung jawab atas bekas luka yang berhubungan dengan morbiditas.
- Meskipun lesi dapat terjadi di mana saja, telapak tangan, telapak, punggung tangan, dan ekstensor permukaan yang paling sering terkena.
- Desquamation pada kaki
- Ruam mungkin terbatas untuk setiap area salah satu tubuh, paling sering bagasi.
- Keterlibatan mukosa mungkin termasuk eritema, edema, peluruhan, blistering, ulserasi, dan nekrosis.
- Meskipun beberapa telah menyarankan kemungkinan sindrom Stevens-Johnson (SJS) tanpa lesi kulit, yang paling percaya bahwa lesi mukosa saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis.Sebagian mereka kini meminta kasus tanpa lesi kulit "khas" atau "tidak lengkap." 7 Kelompok ini penulis menyarankan bahwa kombinasi uretritis, konjungtivitis, dan stomatitis membuat diagnosis SJS pada pasien dengan Mycoplasma pneumoniae-diinduksi tanda dan gejala.
- Tanda-tanda berikut mungkin dicatat pada pemeriksaan:
- Demam
- Orthostasis
- Tachycardia
- Hipotensi
- Mengubah tingkat kesadaran
- Epistaksis
- Konjungtivitis
- Ulserasi kornea
- Erosif vulvovaginitis atau balanitis
- Kejang, koma
MANIFESTASI KLINIS
Gejala prodormal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, lesu, batuk, pilek, nyeri menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Setelah itu timbul lesi di:
· Kulit : berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hamper seluruh tubuh. Lesi yang spesifik berupa lesi target, bila bula kurang dari 10% disebut Steven Johnson Syndrome, 10-30% disebut Steven Johnson Syndrome-Toxic Epidermolysis Necroticans ( SJS-TEN), lebih dari 30% Toxic Epidermolysis Necroticans ( TEN ). Sekitar 80% penyebab TEN adalah obat.
· Mukosa ( mulut, tenggorokan dan genital): berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah.
· Mata : berupa konjungtivitis kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea. DIAGNOSIS
Diagnosis Steven Johson Syndrome 90% berdasarkan klinis. Jika disebabkan oleh obat, ada korelasi antara pemberian obat dengan timbulnya gejala. Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan factor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologis, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, dan pemeriksaan histopatologik biopsy kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya circulating immune complex. Biopsy kulit direncanakan bila lesi klasik tidak ada. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosi.
DIAGNOSIS BANDING
Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan Steven Johnson Syndrome :
1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Steven Johnson Syndrome sangat dekat dengan TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome ( Ritter disease ). Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada seluruh kulit. Biasanya mukosa tidak terkena.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan utama adalah menghentikan obat yang diduga sebagai penyebab SJS, sementara itu kemungkinan infeksi herpes simplex dan Mycoplasma pneumonia harus disingkirkan. Selanjutnya perawatan lebih bersifat simtomatik.
1. Antihistamin dianjurkan untuk mengatasi gejala pruritus/ gatal biasa dipakai feniramin hydrogen maleat ( Avil) dapat dibeikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari, diphenhidramin hidrokloride ( Benadril ) 1mg/kg BB tiap kali sampai 3 kali per hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun: 2,5 mg/dosis, 1 kali/hari; ≥ 6 tahun: 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
2. Blister kulit bias dikompres basah dengan larutan burowi
3. Papula dan macula pada kulit baik intak diberikan steroid topical, kecuali kulit yang terbuka
4. Pengobatan infeksi kulit dengan antibiotic. Antibiotic yang paling beresiko tinggi adalah β-lactam dan sulfa jangan digunakan untuk terapi awal dapat diberikan antibiotic spectrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Terapi infeksi sekunder menggunakan antibiotic yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin 8-16 mg/kg/hari secara intravena, diberikan 2 kali/hari.
5. Kortikosteroid : deksametason dosis awal 1mg/kg BB nolus intarvena, kemudian dilanjutkan 0,2-0,5 mg/kg BB intravena tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi. Beberapa peneliti menyetujui pemberian kortikosteroid sistemik beralasan bahwa kortikosteroid akan menurunkan beratnya penyakit, mempercepat kovalesensi, mencegah komplikasi berat, menghentikan progresifitas penyakit dan mencegah kekambuhan. Beberapa literature menyatakan pemberian kortikosteroid sistemik dapat mengurangi inflamasi dengan cara memperbaiki integritas kapiler, memacu sintesa lipokotrin, menekan ekspresi molekul adesi. Selain itu kortikosteroid dapat meregulasi respons imun melalui down regulation ekspresi gen sitokin. Mereka yang tidak setuju pemberian kortikosteroid beragumentasi bahwa kortikosteroid akan menghambat penyembuhan luka, meningkatkan resiko infeksi, menutupi tanda awal sepsis, perdarahan gastrointestinal dan meningkatkan mortalitas. Faktor lain yang harus dipertimbangkan yaitu harus tapering off 1-3 minggu. Bila tidak ada perbaikan dalam 3-5 hari, maka sebaiknya pemberian kortikosteroid dihentikan. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
6. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0.5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS.
Perawatan konservatif ditujukan untuk :
1. Perawatan lesi kulit yang terbuka, seperti perawatan luka bakar. Koordinasi dengan unit luka bakar sangat diperlukan
2. Terapi cairan dan elektrolit. Lesi kulit yang terbuka seringkali disertai pengeluaran cairan disertai elektrolit
3. Alimentasi kalori dan protein secara parenteral. Lesi pada saluran cerna menyebabkan kesulitan asupan makanan dan minuman.
4. Pengendalian nyeri . penggunaan NSAID beresiko paling tinggi sebaiknya tidak digunakan untuk mengatasi nyeri.
DAFTAR PUSTAKA