Maka dari itu, sudah seharusnya dan sewajarnya seorang muslim mengetahui halal-haramnya perbuatan yang dilakukannya, dan benda-benda yang digunakannya untuk memenuhi kebutuhannya. Termasuk dalam hal ini, halal-haramnya makanan, obat, dan kosmetik
Berdasarkan metode Taqiyuddin An-Nabhani (1994:201; 2001:74), terdapat 3 (tiga) langkah yang harus ditempuh dalam menetapkan status hukum :
- memahami fakta/problem secara apa adanya (fahmul musykilah al-qa`imah). Fakta ini dalam ilmu ushul fiqih dikenal dengan istilah manath (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, III/24) . Di sinilah para ulama wajib memahami masalah yang ada, dibantu oleh para ilmuwan muslim.
- memahami nash-nash syara? (fahmun nushush asy-syar?iyah) yang berkaitan dengan fakta tersebut (jika belum ada hukumnya), atau memahami hukum-hukum syara? (fahmul ahkam asy-syar?iyah) yang telah ada yang berkaitan dengan fakta tersebut (jika sudah ada hukumnya),
- mengistinbath hukum dari nash dan menerapkannya pada fakta; atau menerapkan hukum yang telah ada pada fakta.
Pengertian
Sedangkan dalam pengertian syara', khamr adalah setiap minuman yang memabukkan (kullu syaraabin muskirin).
Jadi khamr tidak terbatas dari bahan anggur saja, tetapi semua minuman yang memabukkan, baik dari bahan anggur maupun lainnya. Pengertian ini diambil berdasarkan beberapa hadits Nabi SAW.
Pada konsentrasi 1,0 - 1,5 mg/ml darah, alkohol menimbulkan gejala euforia dan tidak ada rasa segan, sehingga sering menyebabkan kecelakaan lalu lintas (Mutschler, 1991:751). Alkohol jelas banyak digunakan dalam industri minuman beralkohol, yaitu minuman yang mengandung alkohol ( etanol ) yang dibuat secara fermentasi dari jenis bahan baku nabati yang mengandung karbohidrat, misalnya: biji-bijian, buah-buahan, nira dan sebagainya, atau yang dibuat dengan cara distilasi hasil fermentasi.
1. pembuatan larutan nutrien,
2. fermentasi,
3. destilasi etanol.
Alkohol dalam Obat-Obatan
Seperti telah dijelaskan di atas dalam prinsip di atas berobat dengan benda najis dan haram hukumnya adalah makruh, bukan haram. Dengan demikian, jelaslah bahwa penggunaan alkohol –meskipun najis— dalam rangka pengobatan tidaklah berdosa, sebab hukumnya makruh. (Namun, perlu sekali dicatat, makruh itu sebaiknya ditinggalkan. Orang yang meninggalkan yang makruh, mendapat pahala dari Allah SWT. Tapi jika ia mengerjakannya, tidak mengapa dan tidak berdosa) .
Atas dasar itu, maka penggunaan berbagai bahan yang najis dan haram, tidaklah mengapa. Hukumnya makruh. Misalnya, menggunakan alkohol sebagai desinfektan klinis, sebagai pembersih kulit sebelum diinjeksi, sebagai pelarut bahan obat, dan sebagainya. Termasuk juga dalam hal ini, segala macam benda najis lainnya di luar alkohol. Misalnya penggunaan selongsong kapsul dari bahan babi, penggunaan urine sebagai sarana terapi, dan sebagainya.
Namun karena ada pendapat lain dari umat Islam yang mengharamkan penggunaan benda najis untuk berobat, sebaiknya sebisa mungkin kita hanya menggunakan bahan yang suci dan halal dalam dunia obat-obatan. Kalaupun kita mengikuti pendapat yang memakruhkan, kita disunnahkan menggunakan bahan yang bukan najis, sebagai upaya untuk menghindarkan diri dari perselisihan. Kaidah fiqih menyatakan : Al-Khuruj minal Khilaaf mustahab (Menghindarkan diri dari perselisihan pendapat, adalah disunnahkan). (Abdul Hamid Hakim, As-Sulam , hal. 68)
Mungkin manusia terlalu banyak makan, terlalu banyak garam, terlalu banyak gula, terlalu banyak lemak dan kholesterol, terlalu banyak bahan makanan tambahan (food additive), alkohol, merokok dsb.
- Tidak berbahaya atau mempengaruhi fungsi tubuh dan mental yang normal
- Bebas dari "najis(filth)" dan produk tersebut bukan berasal dari bangkai dan binatang yang mati karena tidak disembelih atau diburu
- Bebas dari bahan-bahan yang berasal dari babi dan beberapa binatang lain yang tidak dapat dimakan oleh seorang muslim kecuali dalam keadaan terpaksa
- Diperoleh sesuai dengan yang sudah ditentukan dalam Islam
- Berbahaya dan berpengaruh negativ pada fisik dan mental manusia
- Mengandung najis(filth) atau produk berasal dari bangkai, babi dan binatang lain yang tidak dapat dimakan oleh seorang muslim
- Berasal dari binatang yang diijinkan, tetapi tidak disembelih dngan aturan yang telah ditetapkan (secara islam) dan tidak dilakukan sepatutnya.
Semua binatang yang diharamkan sebagaimana tersebut di atas, adalah berlaku ketika dalam keadaan normal. Adapun ketika dalam keadaan darurat, maka hukumnya tersendiri, yaitu Halal.
Daruratnya berobat, yaitu ketergantungan sembuhnya suatu penyakit pada memakan sesuatu dari barang-barang yang diharamkan itu. Dalam hal ini para ulama fiqih berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, berobat itu tidak dianggap sebagai darurat yang sangat memaksa seperti halnya makan. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis Nabi yang mengatakan:
Tetapi perkenan (rukhsah) dalam menggunakan obat yang haram itu harus dipenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:
- Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
- Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti Obat yang haram itu.
- Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i'tikad baiknya).
- Bahwa penggunaan alkohol –meskipun najis— dalam rangka pengobatan tidaklah berdosa, sebab hukumnya makruh. (Namun, perlu sekali dicatat, makruh itu sebaiknya ditinggalkan. Orang yang meninggalkan yang makruh, mendapat pahala dari Allah SWT. Tapi jika ia mengerjakannya, tidak mengapa dan tidak berdosa) .
- Berobat dengan sesuatu yang haram diperbolehkan apabila memenuhi syarat :
- Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
- Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti Obat yang haram itu.
- Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i'tikad baiknya).